BROMO FM : Rabu 21/08/13 Pukul 09.00 Wib
Reporter : Dicko
Kraksaan : Tepat pada tanggal 15 April
1949, KH. Mashudi dilahirkan dari keluarga sederhana, Bapak Baroni dan Ibu
Baroni. Pada usia masih dua tahun, beliau menjadi yatim karena ayahnya
meninggal. Akhirnya, beliau hanya berdua bersama ibunya. Menginjak usia remaja,
ibunya memondokkan beliau ke Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan
Probolinggo.
KH.Mashudi menceritakan kisahnya saat diwawancarai Reporter Bromo fm . Bahwa sosok sederhana yang dikenal dengan julukan Kyai Barongan ini , menjalani kehidupan di Pesantren Genggong selama 22 tahun. Selama 11 tahun ibunya membiayai kebutuhan hidup beliau di Pesantren. Akhirnya, karena merasa kasihan, beliau tidak lagi meminta biaya. Beliau kemudian menjadi khodim (mengabdi kepada KH. Hasan Saifourridzal) selama 11 tahun berikutnya.
Ia mengatakan, bahwa Beliau pernah disuruh puasa oleh KH. Hasan Saifourridzal selama satu tahun. Setelah genap satu tahun, beliau menghadap kepada KH. Hasan Saifourridzal, kemudian disuruh lagi puasa satu tahun. Setelah selesai puasa, menghadap lagi kepada KH. Hasan Saifourridzal, malah disuruh tambah lagi satu tahun. Akhirnya genap puasa selama 3 tahun. Setelah selesai, beliau menghadap lagi, malah mendapat tugas baru, “Ud, kamu jangan kawin dulu, kamu harus ngaji ke Kudus selama tiga tahun”, perintah KH. Hasan Saifourridzal kepada beliau. Setelah merampungkan tugas, beliau berpamitan untuk berhenti dari Pesantren dan direstui oleh KH. Hasan Saifourridzal.
Setelah keluar dari Pondok Genggong, beliau berusaha mempertahankan hidup dengan mencari kerja. Namun, karena bekal ijasah hanya lulusan Madrasah Aliyah, pekerjaan pun sulit didapat. Namun, dua tahun setelah keluar dari Pondok Genggong, beliau malah dinikahkan dengan seorang gadis bernama Hafsawati, pernikahan tersebut diselenggarakan di Tanjungsari Krejengan. Dari pernikahan tersebut, beliau dikaruniai dua putri, yaitu Syifaul Millah dan Isnainir Rohmah dan satu putra, Muhammad Taufiqurrahman, yang sekarang masih melanjutkan studi di Yaman, “Supaya memiliki bekal untuk mengasuh dan membina santri”, ujarnya.
Setelah kehidupan keluarganya membaik, KH Mashudi mendirikan rumah dan menetap di desa Tanjungsari Krejengan. Selang beberapa waktu, KH. Hasan Saifourridzal datang bersilaturrahim. Melihat pakaian yang dikenakan oleh tuan rumah, KH. Hasan Saifourridzal menegurnya, “Ud, kamu itu santri Genggong, dan mengamalkan tasawwuf itu tempatnya di dalam hati, bukan dengan pakaian compang-camping begini”, Kenang Kyai Mashudi, meniru yang didengarnya dari KH. Hasan Saifourridzal.
Sebelum kembali ke Pondok Genggong, KH. Hasan Saifourridzal memberi ijazah kepada Kyai Mashudi sebuah amalan untuk berpuasa selama 41 hari. Setelah dijalani puasa selama 41 hari sesuai petunjuk KH. Hasan Saifourridzal, Kyai Mashudi bermimpi bertemu KH. Muhammad Hasan Genggong. Dalam mimpi tersebut, KH. Muhammad Hasan berseru padanya, “Ya Mashudi, ta’al, Mashudi! Singgasanamu sudah habis, dan kamu harus banyak istighfar!.”, seketika itu, Kyai Mashudi terbangun dan tertegun. “Entah saya punya dosa apa?”, ungkapnya. “Saya berusaha mengingat dosa-dosa apa kiranya yang membuat Kyai Sepuh menegur dengan keras kepada saya. Dan dugaan saya adalah dosa-dosa selama di pondok. Seperti ghoshob (menggunakan hak milik orang lain tanpa ijin, tapi kemudian dikembalikan lagi) dan lain-lain. Maklum dunia santri”, jelasnya .
Karena mendapati mimpi seperti itu, pagi harinya Kyai Mashudi sowan kepada KH. Hasan Saifourridzal. Namun, belum sempat bersalaman, KH. Hasan Saifourridzal langsung menyuruhnya ke maqbaroh KH. Hasan Sepuh. “Kamu tidak perlu kesini, saya sudah tahu mimpimu, langsung saja ke maqbaroh”, tutur Kyai Mashudi meniru yang didengarnya dari KH. Hasan Saifourridzal.
“Tak disangka, setelah pulang dari maqbarohnya Kyai Sepuh (KH. Muhammad Hasan.) saya ada tamu, namanya Hozin. Ternyata dia mau menjadi santri saya”, jelasnya. Tapi, setelah beberapa bulan, Hozin ternyata tidak betah dan pamit mau pulang. “Saya memaklumi, mungkin karena tempatnya dipinggir hutan, dia juga sendirian tidak ada teman”, ungkapnya. Setelah tiga minggu, ternyata Hozin datang lagi dan mengajak temannya. “Namanya Abdullah, dari dua santri ini akhirnya saya mendirikan pondok meskipun awalnya sederhana, yaitu yang diberi nama pondok pesantren Darut Tauhid ”, tuturnya sambil mengenang masa awal pendirian pondok yang di asuhnya. (Dc)
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !