PROBOLINGGO - Zaman telah berubah. Investasi langsung ke daerah sangat diharapkan. Namun perangkat pendukung berupa sumber daya manusia di daerah setingkat kabupaten (pemkab) dan kota (pemkot) masih memiliki mentalitas “wani piro...?” Berikut laporan koresponden Surabaya Post di Probolinggo, Ikhsan Mahmudi.
MESKI secara umum pengurusan berbagai izin usaha di Kabupaten Probolinggo tergolong baik, masih dijumpai sejumlah keluhan dari masyarakat. Sebagian masyarakat mengeluhkan mbulet-nya alur perizinan dan munculnya biaya lain-lain atau pungutan liar (pungli).
Masalah indeks kepuasan masyarakat (IKM) di bidang perizinan itu terungkap dalam workshop di pendopo Kabupaten Probolinggo, Kamis (5/1). Survei yang difasilitasi USAID dan dibeber di forum tersebut menunjukkan, masih ada keluh-kesah masyarakat yang mengurus izin usaha.
“Masyarakat banyak mengeluh terutama saat mengurus izin usaha di tingkat kecamatan,” ujar Restu Karlina dari Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) Surabaya, LSM yang merilis hasil survei IKM.
Dikatakan penyelesaian izin tergantung keberadaan camat. Selain itu petugas dinilai kurang paham informasi perizinan, juga diwarnai percaloan, dan berkas banyak pindah tangan.
Lebih parah lagi, biaya tidak transparan dan tidak ada bukti tanda terima. ”Ada tambahan biaya jika ingin cepat selesai. Sampai ada istilah, ’Wani piro?’,” ujar Restu.
Biaya (resmi) yang dikeluarkan masyarakat saat mengurus izin usaha berkisar Rp 50.000 - Rp 5.097.000. Tetapi masih ada biaya lain yang harus ditanggung pelaku usaha.
”Biaya lain besarnya mulai Rp 10.000 hingga Rp 600.000. Sejumlah responden mengaku, biaya lain itu justru lebih besar dibandingkan biaya resmi,” ujar perempuan berjilbab itu.
Lancar tidaknya pengurusan izin di tingkat bawah juga dipengaruhi keberadaan kepala desa. ”Jika syarat lengkap dan kebetulan kepala desa ada, maka berkas bisa langsung ditandatangani,” ujar
Sekadar diketahui, PUPUK melakukan kuisioner terhadap 150 responden dari 2.326 orang yang mengurus izin usaha selama Januari-November 2011. Sebagian besar responden (73,30%) mengaku, mengurus sendiri izin usahanya.
Sisi lain sumber informasi perizinan justru bukan diperoleh dari Kantor Penanaman Modal dan Perizinan (KPMP). ”Bisa dikatakan informasi utama diperoleh masyarakat dari mulut ke mulut,” ujar Restu.
Gak Karuan
Soal adanya biaya lain-lain saat pengurusan izin usaha diamini Fauzi, salah satu pelaku usaha di Probolinggo. “Memang benar, masih ada biaya gak karuan. Karena itu perlu penyederhanaan syarat dan prosedur,” ujarnya.
Fauzi yang juga notaris itu menambahkan, masih ada provokator ketika ada investasi masuk. Tindakan tersebut ternyata bermotif imbalan uang (pemerasan).
Masih soal biaya lain-lain, Tjuk Soemarsono, salah seorang pengusaha justru berpendapat tidak ada masalah. ”Seperti halnya dari Probolinggo-Surabaya, lewat tol ya harus membayar, di luar tol tidak membayar tetapi lama ya tanggung sendiri,” ujarnya.
Meski diblejeti habis-habisan, Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah, Tanto Walono mengakui, hasil survei IKM di bidang perizinan usaha memang benar. ”Kita memang berkomitmen, siap buka-bukaan,” ujarnya.
Terkait masih adanya pungli yang dilakukan aparat, Tanto menyayangkan. ”Sebenarnya PNS sudah dapat tunjangan kesejahteraan, yang memang diperbolehkan oleh BPK, ngapain masih mencari-cari yang tidak jelas,” ujar mantan Kepala Bappeda itu.
Terkait hasil survei, Kepala Kantor Penanaman Modal dan Perizinan, M. Sjaiful Efendi juga memberikan klarifikasi. Terutama terkait temuan, informasi utama soal perizinan diperoleh masyarakat dari mulut ke mulut. ”Ada yang belum masuk survei, kami melakukan sosialisasi di lima kecamatan pada akhir 2011. Tahun ini di 10 kecamatan,” ujarnya.
Sjaiful juga membantah, warga yang mengurus izin diwajibkan memakai sepatu. ”Tidak apa-apa pakai sandal, bersarung, tetap kami layani,” ujarnya.n
SUMBER : http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=6faabe3927929719a6063a31774030c4&jenis=1679091c5a880faf6fb5e6087eb1b2dc
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !